Dr. I Gede Astawan, S.Pd., M.Pd menjelaskan ada 3 jenis kearifan lokal yaitu kearifan religius, sosial dan ekologis. Tri Kaya Parisudha artinya tiga perbuatan yang disucikan merupakan salah satu kearifan lokal sosial yang dimiliki masyarakat Bali. Berpikir yang benar (manacika), berkata yang benar (wacika) dan berbuat yang benar (kayika) adalah inti dari konsep Tri Kaya Parisudha. Mengutip Mahatma Gandhi, “Happiness in when what you think, what you say, and what you do are in harmony”, Astawan menerjemahkan bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan haruslah sejalan. PPK yang terdiri dari lima nilai yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri dan integritas erat kaitannya dengan konsep Tri Kaya Parisudha.
Dosen prodi PGSD ini memadukannya menjadi sebuah karya dalam bentuk buku yang berjudul Teori dan Aplikasi Model Pembelajaran Tri Kaya Parisudha di Sekolah Dasar dan buku Ilmu Pengetahuan Alam Bermuatan Kearifan Lokal Untuk Siswa kelas IV SD, Tema 2: Selalu Berhemat Energi. Buku yang disusun bertim ini menggunakan konsep Tri Kaya Parisudha sebagai basisnya.
Untuk memahami lebih jelas Astawan memberikan contoh implementasi dari model pembelajaran tri kaya parisudha yang dibagi menjadi 3 fase yaitu tahap pendahuluan, inti dan penutup. Pada fase pendahuluan yang dilakukan adalah memberi salam, mengecek kehadiran, berdoa dan meditasi, menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran, mengamati video/gambar kearifan lokal yang ada hubungannya dengan materi, melakukan apersepsi serta memberikan pertanyaan awal.
Fase Inti dibagi menjadi 3 yaitu Kayika, Wacika dan Manacika. Kayika dilakukan dengan melakukan percobaan/pengamatan, menuliskan hasil percobaan, dan mengerjakan pertanyaan yang ada pada lembar percobaan. Wacika dilakukan dengan presentasi, berdiskusi dan guru sebagai moderatornya. Sedangkan manacika dilakukan dengan refleksi, bertanya dan guru memberikan umpan balik. Saat melakukan implementasi ini kejujuran siswa dalam berbuat, berkata dan berfikir menjadi hal penting yang harus diperhatikan guru. Fase penutup adalah bagian menyimpulkan pembelajaran, menyampaikan evaluasi dan memberikan rangkuman serta pesan moral, tidak lupa diakhiri dengan berdoa.
Setelah pemaparan materi berakhir salah satu peserta kuliah online bertanya tentang bagaimana mengatasi kekerasan pada anak, ini berawal dari kekhawatiran I Made Ariasa bahwa masih banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak termasuk dalam lingkungan pendidikan yaitu sekolah. Bullying salah satunya, kekerasan ini biasanya terjadi pada anak disabilitas. I Nyoman Laba Jayanta, S.Pd., M.Pd selaku moderator saat itu, juga membacakan pertanyaan dari peserta. Pertama, tentang bagaimana penanaman karakter yang berbeda antara orang tua dan sekolah. Kedua tentang bagaimana menghadapi siswa yang tertutup karena kurang mendapat perhatian dari orang tua.
Dalam kuliah online batch 2 itu Astawan menjawab bahwa sekolah seharusnya bisa mengontrol atau mengawasi prilaku anak-anak. Menurutnya kekerasan anak itu bisa terjadi karena pengaruh dari pendidikan informal misalnya akibat menonton tayangan televisi yang tidak sesuai untuk anak-anak sehingga mempengaruhi pola prilaku anak. Sebagai pendidik atau lembaga perlindungan anak kita harus mengupayakan pembentukan karakter kepada anak oleh karena itu jangan putus asa untuk membangun sinergisitas anatara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Pemerintah juga perlu menggalakkan program pendidikan inklusi sehingga anak disabilitas dapat berbaur sejak dini.
Penanaman karakter juga perlu diingatkan, diberi contoh dan menjadi contoh. Menjadi contoh dengan memulai dari diri sendiri. Kurangnya perhatian dari orang tua sudah dilakukan dengan Manajemen berbasis sekolah yang melibatkan orang tua. Caranya dengan membuat grup WA untuk orang tua dan mengingatkan kepada orang tua bahwa anak disekolah juga merupakan tanggung jawab orang tua. Dengan pendekatan kearifan lokal diharapkan orang tua akan lebih cepat menerima.