Halo,,, perkenalkan nama saya Ikrima Maulida. Sejak duduk di bangku SMA, saya sudah terbiasa jauh dari orang tua. Begitupun dengan kuliah, karena menempuh pendidikan di Undiksha saya tinggal di Kota Singaraja sedangkan orang tua tinggal di Jimbaran, Kuta Selatan. Seminggu sekali baru bisa pulang. Bisa dibilang saya ini anak rantauan. Saya menetap di Bali sejak berumur 2 tahun. Semester 7 kemarin saya mendapat pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. Pengalaman itu tentang PPL di Filipina.
Awalnya saya tertarik ikut program ini karena ingin menerapkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di kampus dan ingin mendapat pengalaman bagaimana rasanya mengajar anak-anak yang bukan orang Indonesia. Ditambah lagi rasa penasaran saya tetang hidup di luar negeri. Memang ada rasa takut tidak lulus seleksi karena yang ikut banyak anak-anak bahasa inggris, tapi saya tetap bertekad untuk mencoba. Beruntung saya bisa lolos dari seleksi itu.
Waktu itu, tanggal 1 September 2019 saya bersama Wahyu dan teman-teman lainnya berangkat menuju Manila, Filipina. Untuk mengajar di Laboratory Integrated School-Elementary Bayambang, Pangasinan. Beruntung kami diterima dengan sangat baik oleh Kepala Sekolah, Guru-guru, dan anak-anak. Mendapat mengajar di kelas 6 SD saya dan Wahyu menjadi partner mengajar. Wahyu adalah teman satu prodi di Undiksha. Kami dipercaya mengampu mata pelajaran IPA dan Bahasa Inggris. Kita saling bertukar peran saat saya mengajar IPA maka Wahyu yang mengajar Bahasa Inggris begitu pun sebaliknya.
Disana saya mendapat mentor guru IPA yang sangat baik, sebelum mengajar esok hari saya diminta mempersiapkan RPP sehari sebelumnya, meyiapkan media pembelajaran dan yang paling menarik saya diminta melakukan gladi terlebih dahulu. Beliau pun menilai cara saya mengajar saat gladi lalu memberikan masukan, sehingga keesokan harinya saya sangat siap menyampaikan materi di kelas. Suatu kali saya dan teman-teman diminta untuk ikut bermain bola voli di sekolah, tapi saya tidak bisa, mereka malah menyemangati saya dan berkata ayo dicoba dulu tidak ada yang tidak bisa. Saya tertegun dan mulai mencoba bermain bersama mereka.
Suatu hari saat mengajar di kelas 6, anak-anak itu kepanasan, tanpa ragu-ragu mereka malah membuka baju seragannya dan hanya memakai baju kaos dalamnya saja. Sontak saya kaget tapi itulah budaya disini, bebas dan bahkan di hari-hari tertentu mereka tidak di wajibkan menggunakan seragam. Meski begitu mereka tetap anak-anak pintar yang tidak segan untuk bertanya dan menjawab, malah mereka berebut ingin menyampaikan argumentasinya. Mereka sangat antusias dan bertanggungjawab serta menyelesaikan tugas dengan sungguh-sungguh. Karena kelas 4, 5 dan 6 ada jadwal piketnya, setiap pembelajaran selesai mereka membersikan bangku, ruang kelas sampai kamar mandi. Karena kamar mandinya ada di dalam kelas jadi saya melihat mereka membersihkan kamar mandi. Jika ada orang yang datang mereka langsung memberi salam. Tak kalah menarik ternyata di tingkat SD juga ada osisnya. Mereka berkampanye, mengenalkan anggota kabinetnya sampai melakukan pemilihan secara demokrasi. Anak-anak didik saya sangat tertarik ketika saya berbicara tentang Indonesia. Katanya di umur 25 nanti mereka mau ke Indonesia. Saya percayai saja dan menanggapinya dengan senang hati.
Guru-guru sering menawari kami makanan, tapi lidah Indonesia ini kalau tidak pedas kurang gimana gitu. Pernah saat awal sampai disana saya makan di restoran ayam goreng dengan memilih varian terpedas tapi rasanya menurut saya tetap tidak pedas. Segala makanan disana mulai dari sarden sampai makanan pasaran menurut saya tidak ada yang pedas. Tapi menurut mereka itu sudah sangat pedas. Mungkin tingkat kepedasan tiap negara itu berbeda ya. Malam harinya kami sempat di ajak dinner juga oleh Bupati Bayambang.
Selama di Filipina kami terbiasa berjalan kaki, orang-orang disana juga kebanyakan jalan kaki. Saya merasa lebih sehat karena sering jalan kaki. Kecuali jika sudah malam dan harus belanja kebutuhan sehari-hari yang lumayan banyak saya naik becak motor. Ow iya anehnya toko-toko disana tutup jam 7 malam jadi sebelum jam 7 kita sudah belanja.
Terkait sistem pendidikan, sistem pendidikan disana memang berbeda, mereka masih menggunakan tulisan tegak bersambung dan sudah menggunakan bahasa inggris, tapi ada pembelajaran pakai bahasa Fliipipina juga seperti pelajaran kewarganegaraan dan pelajaran Bahasa Filipina. Ini bisa ditiru oleh Indonesia. Selama ini hanya sekolah-sekolah internasional saja yang pakai bahasa Inggris. Penulisan RPP juga tida setebal di Indonesia. Kita hanya perlu membuat sekiatr 7-8 halaman saja.
Kembali lagi kadar bagus atau tidaknya sistem pendidikan harus dilihat dari SDM, sarana prasarana dan budayanya. Begitu pula dengan Tujuan pendidkan di negara tersebut serta kesiapan warga negaranya. Namun yang saya sayangkan adalah sistem pendidikan yg berubah-rubah membuat guru bingung, prasarana belum memadai karena karena indonesia kan luas sampai di pelosok. Mungkin ini tantangan kita kedepan sebagai seorang guru di Indonesia.
Suatu hari nanti jika saya menjadi guru saya akan menerapkan bagaimana sikap disiplin ,bertanggung jawab, kerja keras dan pantang menyerah. Terus mencoba, berusaha dan berdoa. Sama seperti yang anak-anak Filipina lakukan sebelum mereka memulai pelajaran ketua kelas akan memandu mereka untuk berdoa. Jangan takut menyampaikan pendapat karena saya lihat anak-anak di Indonesia masih banyak yang belum berani berargumen.
Sebulan disana kami harus kembali ke Indonesia. Manisnya anak-anak disana justru memberi saya dan Wahyu surat dengan bentuk-benuk yang indah jadi semakin terharu waktu perpisahan. Pasti saya akan rindu mereka yang setiap pagi diam-diam menaruh makanan di meja kerja saya sebelum saya tiba di sekolah. Sebelum pulang kami sempat berwisata ke One Hundred Islands, Filpina, kemudian ke Musium Nasional, Taman Nasional dan belanja oleh-oleh di Filipina. Akhirnya kami menuju bandara diantar oleh Sopir dari Kedutaan Besar Indonesia di Filipina.